Dulu Terjebak Rutinitas, Sekarang Merancang Hidupku Sendiri | Perbedaan Kerja Kantoran vs Bisnis
- cigichannel
- 27 Apr
- 3 menit membaca
Diperbarui: 28 Apr
Cerita reflektif tentang perbedaan hidup saat bekerja kantoran vs membangun bisnis sendiri. Dari rutinitas tanpa arah ke hidup yang penuh pilihan.
"Selama 5 tahun aku bangun lebih dulu dari matahari, hanya untuk mengejar sesuatu yang bahkan bukan milikku."
Aku pikir itu biasa. Sampai aku sadar, hidup tidak harus selalu seperti itu.
Dulu, aku bekerja di sebuah perusahaan joint venture Korea-Indonesia yang terletak di Jakarta. Sementara rumahku... jauh di BSD.


Setiap hari, hidupku dimulai jam 6 pagi. Aku harus berangkat buru-buru, mengejar kereta jam 6.15.
Semua itu agar bisa sampai di kantor tepat waktu ā jam 7.45 pagi.
Hampir 2 jam perjalanan, setiap pagi.
2 jam yang diisi dengan berdesak-desakan di kereta, tubuh kegencet, sepatu keinjak, napas sesak di antara lautan manusia.
Percuma rasanya dandan dari pagi ā begitu keluar dari kereta, wajah sudah kucel, rambut kusut, baju lecek.
Aku bahkan tidak pernah benar-benar merasa memulai hari dengan segar. Pagi-pagi sudah lelah, belum lagi kerjaan kantor yang menunggu.
Pulang pun tidak jauh beda. Paling cepat aku bisa keluar kantor jam 5.30 sore, dan perjalanan pulang butuh waktu 2 jam lagi.
Biasanya, aku baru sampai rumah jam 7.30 malam. Langsung makan, lalu buru-buru siapin baju buat besok.
Sampai-sampai mamaku pernah bercanda,
"Kenapa nggak sekalian aja pakai bajunya sekarang? Biar besok nggak repot lagi."
Aku hanya bisa ketawa kecil ā dalam hati, aku tahu, itu memang realita.
Satu hari penuh hanya untuk kerja dan perjalanan.
Tidak ada ruang untuk diriku sendiri.
Tidak ada waktu untuk belajar.
Tidak ada semangat untuk mimpi.
Weekend? Bukannya refreshing keluar rumah, aku lebih memilih tidur seharian.
Tubuhku terlalu capek, jiwaku terlalu kosong.
Tapi semua itu berubah setelah aku memulai bisnisku sendiri.
Sampai akhirnya aku harus resign karena memutuskan untuk for good ke Korea.
Di Korea dengan dukungan dari suamiku, aku memutuskan untuk menjalani bisnis sendiri.
CIGI21 terlahir dari keinginanku untuk menjalani hidup yang aku pilih sendiri.
Sekarang, aku masih bangun pagi. Tapi bukan untuk berdesak-desakan. Bukan untuk mengejar kereta.
Aku bangun untuk membangun sesuatu yang aku percaya. Aku bekerja mengikuti ritmeku sendiri, dengan fleksibilitas yang aku tentukan. Bukan lagi mengikuti sistem yang dibuat orang lain.
Yang lebih penting lagi, aku mulai berpikir lebih besar. Aku melihat dunia ini bukan hanya dari balik layar komputer kantor, tapi dari mata seorang pembelajar yang ingin terus berkembang.
Ada begitu banyak hal baru yang bisa aku pelajari. Dan setiap capek, setiap stres yang aku alami, aku tahu : semuanya berbuah untukku.
Untuk hidupku, untuk bisnisku.
Memang, Tidak Semudah Itu
Tapi tentu saja, memulai bisnis sendiri tidak berarti mudah. Jujur, ini jauh lebih menantang dibanding bekerja kantoran.
Tidak ada gaji bulanan yang pasti masuk. Tidak ada zona nyaman.
Aku harus terus berpikir : Bagaimana caranya agar bisnis tetap berjalan? Bagaimana mempertahankan pendapatan?
Di awal-awal, aku sering tidak bisa tidur. Berbaring di malam hari saat semua orang sudah terlelap,tapi di dalam dadaku, jantung berdebar kencang:
"Apa lagi yang harus aku buat?"
"Apa lagi yang harus aku perbaiki?"
Tapi satu hal besar yang akhirnya aku sadari: Kecemasan, stres, dan deg-degan itu ā semua berguna. Bukan untuk orang lain. Bukan untuk perusahaan orang.
Tapi untuk hidupku sendiri.
Saat aku benar-benar sadar akan hal itu, kecemasan yang dulu menakutkan berubah menjadi semangat. Semangat untuk menaklukkan tantangan. Semangat untuk membangun masa depan yang aku pilih sendiri.
Dan proses ini...yang awalnya terasa berat, sekarang terasa seru.
Kini, Aku Hidup untuk Diriku Sendiri
Aku tetap lelah. Aku tetap stress. Tapi kali ini, semua rasa itu punya tujuan.
Aku hidup untuk membangun mimpiku sendiri.
Aku bekerja untuk mewujudkan hidup yang aku pilih.
Dan untuk itu, aku bersyukur.
Sangat bersyukur pernah berani memulai langkah pertama ini.
Comments